BERBEDA

Perbedaan Tak Harus Membuat Kita Berselisih Tetapi Justru Membuat Kita Saling Memahami

Sabtu, 27 April 2013

KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH



A.           Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah terjemahan dari bahasa Inggris leadership yang berasal dari kata leader yang berarti pemimpin.
Menurut Sutisna, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. (Mulyasa,2009:107)
Menurut Soepardi, kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum (kalau perlu) serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien. (Mulyasa,2009:107)
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi kegiatan seseorang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu secara efektif dan efisien.

B.           Pemimpin dan Kepemimpinan
Sekilas antara pemimpin dan kepemimpinan mengandung pengertian yang sama, padahal berbeda.
Pemimpin adalah orang yang tugasnya memimpin, sedang kepemimpinan adalah bakat dan atau sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin.
Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu, bawahan dipimpin dari bukan dengan jalan menyuruh atau mondorong dari belakang.
Masalah yang selalu terdapat dalam membahas fungsi kepemimpinan adalah hubungan yang melembaga antara pemimpin dengan yang dipimpin menurut rules of the game yang telah disepakati bersama.
Kepemimpinan membutuhkan penggunaan kemampuan secara aktif untuk mempengaruhi pihak lain dan dalam wujudkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan lebih dahulu. Seseorang pemimpin selalu melayani bawahannya lebih baik dari bawahannya tersebut melayani dia. Pemimpin memadukan kebutuhan dari bawahannya dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhannya.
Seorang pemimpin mempunyai keterampilan manajemen (managerial skill) maupun keterampilan tekhnis (technical skill). Semakin rendah kedudukan seorang tekhnis pemimpin dalam organisasi maka keterampilan lebih menonjol dibandingkan dengan keterampilan manajemen. Hal ini disebabkan karena aktivitas yang bersifat operasional.
Bertambah tinggi kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin menonjol keterampilan manajemen dan aktivitas yang dijalankan adalah aktivitas bersifat konsepsional. Dengan perkataan lain semakin tinggi kedudukan seorang pamimpin dalam organisasi maka semakin dituntut dari padanya kemampuan berfikir secara konsepsional strategis dan makro.
C.               Tipe_Tipe Kepemimpinan
Pada umumnya para pemimpin dalam setiap organisasi dapat diklasifikasikan menjadi lima type utama yaitu sebagai berikut
1. Tipe pemimpin otokratis.
2. Tipe pemimpin militoristis.
3. Tipe pemimpin paternalistis.
4. Tipe pemimpin karismatis.
5. Tipe pomimpin demokratis.
1. Tipe pemimpin demokratis
Tipe pemimpin ini menganggap bahwa pemimpin adalah merupakan suatu hak.
Ciri-ciri pemimpin tipe ini adalah sebagai berikut :
a. Menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi
b. Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi.
c. Menganggap bahwa bawahan adalah sebagai alat semata-mata
d. Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain karena dia menganggap dialah yang paling benar.
e. Selalu bergantung pada kekuasaan formal.
f. Dalam menggerakkan bawahan sering mempergunakan pendekatan (Approach) yang mengandung unsur paksaan dan ancaman.
Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe mimpinan otokratis tersebut di atas dapat diketahui bahwa tipe ini tidak menghargai hak-hak dari manusia, karena tipe ini tidak dapat dipakai dalam organisasi modern.
2. Tipe kepemimpinan militeristis
Perlu diparhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan seorang pemimpin tipe militeristis tidak sama dengan pemimpin-pemimpin dalam organisasi militer. Artinya tidak semua pemimpin dalam militer adalah bertipe militeristis.
Seorang pemimpin yang bertipe militeristis mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
a. Dalam menggerakkan bawahan untuk yang telah ditetapkan, perintah mencapai tujuan digunakan sebagai alat utama.
b. Dalam menggerakkan bawahan sangat suka menggunakan pangkat dan jabatannya.
c. Sonang kepada formalitas yang berlebihan
d. Menuntut disiplin yang tinggi dan kepatuhan mutlak dari bawahan
e. Tidak mau menerima kritik dari bawahan
f. Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe pemimpin militeristis jelaslah bahwa ripe pemimpin seperti ini bukan merupakan pemimpin yang ideal.
3. Tipe pemimpin fathernalistis
Tipe kepemimpinan fathornalistis, mempunyai ciri tertentu yaitu bersifat fathernal atau kepakan.ke Pemimpin seperti ini menggunakan pengaruh yang sifat kebapaan dalam menggerakkan bawahan mencapai tujuan. Kadang-kadang pendekatan yang dilakukan sifat terlalu sentimentil.
Sifat-sifat umum dari tipe pemimpin paternalistis dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa.
b) Bersikap terlalu melindungi bawahan
c) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan. Karena
itu jarang dan pelimpahan wewenang.
d) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan inisyatif daya
kreasi.
e) Sering menganggap dirinya maha tau.
Harus diakui bahwa dalam keadaan tertentu pemimpin seperti ini sangat diporlukan. Akan tetapi ditinjau dari segi sifar-sifar negatifnya pemimpin faternalistis kurang menunjukkan elemen kontinuitas terhadap organisasi yang dipimpinnya.
4. Tipe kepemimpinan karismatis
Sampai saat ini para ahli manajemen belum berhasil menamukan sebab-sebab mengapa seorang pemimin memiliki karisma. Yang diketahui ialah tipe pemimpin seperti ini mampunyai daya tarik yang amat besar, dan karenanya mempunyai pengikut yang sangat besar. Kebanyakan para pengikut menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin seperti ini, pengetahuan tentang faktor penyebab Karena kurangnya seorang pemimpin yang karismatis, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers), perlu dikemukakan bahwa kekayaan, umur, kesehatan profil pendidikan dan sebagainya. Tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin karismatis.
5. Tipe Kepemimpinan Demokratis
Dari semua tipe kepemimpinan yang ada, tipe kepemimpinan demokratis dianggap adalah tipe kepemimpinan yang terbaik. Hal ini disebabkan karena tipe kepemimpinan ini selalu mendahulukan kepentingan kelompok dibandingkan dengan kepentingan individu.
Beberapa ciri dari tipe kepemimpinan demokratis adalah sebagai berikut:
1. Dalam proses menggerakkan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia
itu adalah mahluk yang termulia di dunia.
2. Selalu berusaha menselaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan kepentingan organisasi.
3. Senang menerima saran, pendapat dan bahkan dari kritik bawahannya.
4. Mentolerir bawahan yang membuat kesalahan dan berikan pendidikan kepada bawahan agar jangan berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisyatif danprakarsa dari bawahan.
5. Lebih menitik beratkan kerjasama dalam mencapai tujuan. Selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses dan berusaha mengembangkan kapasitas diri.
D.               Alasan Perlunya Implementasi kebijakan Kepemimpinan dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Sejarah persekolahan di Indonesia sudah dimulai sejak jaman penjajahan dengan segala permasalahannya. Sejak Indonesia merdeka, ekspektasi negara, masyarakat, dan keluarga terhadap sekolah sedemikian besar,  sehingga setiap pemerintahan di negara ini selalu menjadikan isu pendidikan dan sekolah menjadi sentral untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa negara sangat “concern” dalam rangka legitimasi pemerintahannya. Dengan disahkannya UU Sisdiknas tahun 2003, terjadi pergeseran paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik. Pasal 51 UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20//2003 menyatakan bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan konsep pengelolaan sekolah yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di era desentralisasi pendidikan. Manajemen berbasis sekolah diharapkan mampu  menjawab tantangan jaman dan ekpektasi negara, masyarakat, serta keluarga terhadap sekolah.
Kajian ini dimaksudkan untuk menyambut desentralisasi pendidikan yang dilaksanakan pemerintah, agar sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak dalam mengelola sumber dayanya, sehingga mutunya dapat ditingkatkan. Lebih kongkretnya, pembahasan ini berusaha menampilkan suatu alternatif model sekolah yang manajemennya dikelola di tingkat sekolah atau biasa disebut dengan MBS ( Manajemen Berbasis Sekolah ). Namun dalam kondisi krisis saat ini, upaya mewujudkan model MBS yang ideal tidaklah mudah karena terbatasnya sumber daya. Karena kondisi tersebut, maka diajukan pencapaian tujuan MBS secara bertahap yang dibagi ke dalam strategi jangka pendek, menengah, dan panjang.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, juga dapat dipakai sebagai sarana Improving school efficiency. Argumentasinya ialah, krisis ekonomi yang melanda Indonesia berdampak luas terhadap pendidikan terutama padadua segi; pertama, mengurangi kemampuan pemerintah menyediakan dana yang cukup untuk pendidikan, dan kedua, menurunkan kemampuan orang tua dalam membiayai pendidikan anaknya. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sekolah maka beban pemerintah dapat berkurang. Di samping itu, berkurangnya liku-liku birokrasi dalam prinsip desentralisasi juga mendukung efisiensi sekolah. Mengikutsertakan kepala sekolah dan guru dalam pengambilan keputusan sekolah, dapat mendorong rasa kepemilikan yang tinggi dari warga sekolah terhadap sekolahnya. Hal ini pada akhirnya mendorong mereka untuk menggunakan sumber daya yang ada secara efisien untuk mencapai hasil yang optimal.   
E.               Batasan Implementasi kebijakan Kepemimpinan dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Berdasarkan pengamatan, bahwa pada dasarnya implementasi kebijakan ini terdiri dari dua lapisan pengelolaan. Lapisan pertama membahas tentang komponen birokrasi pengelolaan pendidikan, sedangkan lapisan kedua dengan uraian yang singkat merupakan komponen pengelolaan sekolah.
Meskipun dalam praktiknya kedua pengelolaan tersebut untuk kepentingan sekolah sebagai muaranya, kajian ini dibatasi pada lapisan kedua, yaitu pengelolaan sekolah melalui apa yang dikenal dengan MBS. Dimana terdapat beberapa catatan  penyebab terjadinya manajemen sekolah menjadi tidak efektif, antara lain : (a). pada umumnya kepala sekolah (khususnya sekolah negeri) memiliki otonomi yang sangat terbatas dalam mengelola sekolahnya, (b). kepala sekolah kurang memiliki keterampilan untuk mengelola sekolah dengan baik, (c). kecilnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan sekolah,  padahal perolehan dukungan dari masyarakat merupakan bagian dari peran kepemimpinan kepala sekolah. Keterampilan ini sangat penting  tatkala fungsi-fungsi pendidikan didesentralisasikan.
F.                Aktor-aktor Pelaksana kebijakan Kepemimpinan dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Dalam MBS, aktor atau delegasi tanggung jawab dan wewenang, akan berbeda antara satu sekolah dengan sekolah yang lainnya. Alasannya adalah MBS menawarkan kebebasan yang besar kepada sekolah, namun hal itu tetap disertai seperangkat tanggung jawab yang harus dipikul oleh sekolah. Tanggung jawab tersebut adalah terjaminnya partisipasi masyarakat, pemerataan, efektivitas, serta manajemen yang bertumpu di tingkat sekolah. Oleh karena itu, tidak dapat dihindarkan perlunya ada perangkat peraturan yang memberikan peran tertentu kepada pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan model ini.
Lebih jelasnya, prioritas dan kebijakan pemerintah ini harus dilaksanakan oleh sekolah. Sekolah tidak memiliki kapasitas untuk berjalan sendiri tanpa menghiraukan kebijakan prioritas dan standardisasi yang dirumuskan oleh pemerintah, karena sekolah itu sendiri berada dalam sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, kantor pusat berkewajiban membuat peraturan dan mengevaluasi pelaksanaannya.
Namun pada prakteknya,  Kepala Sekolah sebenarnya merupakan aktor yang paling diharapkan berperan sebagai pemimpin dalam MBS untuk mewujudkan visi menjadi misi yang  feasible bagi peningkatan pelayanan dan kualitas sekolah. Pihak-pihak lain seperti, komite sekolah, para guru, orangtua, dewan pendidikan dan dinas pendidikan diharapkan menyumbang pada pengembangan kepemimpinan Kepala Sekolah dalam hal, penilaian, tantangan, dan dukungan.
G.              Arena Implementasi kebijakan Kepemimpinan dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Dalam MBS, kepala sekolah dan guru memiliki kebebasan yang luas dalam mengelola sekolah tanpa mengabaikan kebijakan dan prioritas dari pemerintah. Lingkup strategi kebijakan yang ditawarkan adalah : (a). kurikulum yang bersifat inklusif, (b) proses belajar-mengajar yang efektif, (c). lingkungan sekolah yang mendukung, (d). sumber daya yang berasas pemerataan, dan (e). standardisasi dalam hal tertentu, monitoring, evaluasi, dan tes. Kelima strategi tersebut harus menyatu ke dalam lingkup fungsi pengelolaan sekolah, yaitu : (1) manajemen/ organisasi/ kepemimpinan, (2) proses belajar-mengajr, (3) sumber daya manusia, dan (4) administrasi sekolah.
H.               Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan Kepemimpinan dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi pendidikan terinci sbb:
  1. Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
  2. Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
  3. Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
  4. Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat.
  5. Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan. (Nuril Huda, 1999)



I.                  Hubungan antara pembuat dan pelaksana kebijakan Kepemimpinan dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan MBS ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan.
Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Pada kenyataannya selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional sekolah.
Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam pendekatan MBS ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
J.                 Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Efektif
Kepala sekolah (Kasek) merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan sekolah, yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Sehubungan dengan MBS, Kasek dituntut untuk senantiasa meningkatkan efektivitas kinerja. Dengan demikian, MBS sebagai paradigma baru pendidikan dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Kinerja Kepala Sekolah dalam kaitannya dengan MBS adalah segala upaya yang dilakukan dan hasil yang dapat dicapai oleh Kepala Sekolah dalam mengimplementasikan MBS di sekolahnya untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sehubungan dengan itu, kepemimpinan Kepala Sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut ini.
1.      Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif.
2.      Dapat melakukan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
3.      Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan tujuan pendidikan.
4.      Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah.
5.      Bekerja dengan tim manajemen.
6.      Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
            Pidarta (1988, dalam Mulyasa, 2002:126) mengemukakan tiga macam keterampilan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah untuk menyukseskan kepemimpinannya. Ketiga keterampilan tersebut adalah keterampilan konseptual, yaitu keterampilan untuk memhami dan mengoperasikan organisasi; keterampilan munusiawi yaitu keterampilan untuk bekerjasama, memotivasi dan memimpin; serta keterampilan teknik ialah keterampilan dalam menggunakan pengetahuan, metode, teknik, serta pelengkapan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk memiliki kemampuan, terutama keterampilan konsep, para kepala sekolah diharapkan melalui kegiatan-kegiaatan berikut: (1) senantiasa belajar dari pekerjaan sehari-hari terutama dari cara kerja para guru dan pegawai sekolah lainnya; (2) melakukan observasi kegiatan manajemen secara terencana; (3) membaca berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan; (4) memanfaatkan hasil penelitian orang lain; (5) berpikir untuk masa yang akan datang; dan (6) merumuskan ide-ide yang dapat diujicobakan. Selain itu, kepala sekolah harus dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang efekfif sesuai dengan situasi dan kebutuhan serta motivasi para guru dan pekerja lain.

SEJARAH PENELITIAN TINDAKAN KELAS

A.     Asal Mula Istilah Penelitian tindakan Kelas
Penelitian tindakan pertama kali dikembangakan oleh Kurt Lewin seorang Jerman pada tahun  1940 – an. Ia seorang ahli psikologi social dan eksperimental. Ia adalah seorang yang peduli terhadap masalah-masalah social dan memfokuskannya pada proses kelompok partisipatif untuk menangani konflik, krisis, dan perubahan-perubahan yang umumnya ada dalam suatu organisasi.
Lewin pertama kali mengemukakan istilah action research (penelitian tindakan) pada makalah-makalah yang ditulisnya pada tahun 1946, yang antara lain berjudul Action Research and Minority Problems, dan Characterizing action research as “a Comparative Research un the Condition and Effect of Various Forms of social action and Research Leading to social Action”.
            Ahli lainnya yang kontribusinya pada bidang penelitian ini adalah Eric Trist, seorang ahli psikiatri social. Lewin dan Trist mengaplikasikan penelitian mereka pada perubahan system yang terjadi di dalam atau antar organisasi. Mereka menekankan keprofesionalannya dan berkolaborasi dengan klien dan menguatkan peran hubungan kelompok sebagai dasar untuk pemecahan masalah.
            Selama beberapa dekade penelitian tindakan dilupakan orang karena dianggap kurang ilmiah. Namun pada pertengahan tahun 1970-an, bidang ini berkembang dan memunculkan empat aliran utama yaitu aliran tradisional, contextural (action learning), radical, dan penelitian tindakan yang berhubungan dengan pendidikan.
Penelitian tindakan yang berhubungan dengan pendidikan dan bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan cara guru mengajar di kelas dikenal dengan penelitian tindakan kelas, berkembang dengan pesat, terutama di negara maju seperti Amerika serikat, Inggris, dan Australia. Di Indonesia, penelitian tindakan kelas mulai diperkenalkan pada tahun 1990-an.
Belakangan ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK) semakin menjadi trend untuk dilakukan oleh para profesional sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu di berbagai bidang. Awal mulanya, PTK, ditujukan untuk mencari solusi terhadap masalah sosial (pengangguran, kenakalan remaja, dan lain-lain) yang berkembang di masyarakat pada saat itu. PTK dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap masalah tersebut secara sistematis. Hal kajian ini kemudian dijadikan dasar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan rencana yang telah disusun, kemudian dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang dipakai sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada tahap pelaksanaan. Hasil dari proses refeksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan dan peryempurnaan rencana tindakan berikutnya. Tahapan-tahapan di atas dilakukan berulang-ulang dan berkesinambungan sampai suatu kualitas keberhasilan tertentu dapat tercapai.
Dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran, PTK berkembang sebagai suatu penelitian terapan. PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahap-tahap PTK, guru dapat menemukan solusi dari masalah yang timbul di kelasnya sendiri, bukan kelas orang lain, dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. Selain itu sebagai penelitian terapan, disamping guru melaksanakan tugas utamanya mengajar di kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswanya. Jadi PTK merupakan suatu penelitian yang mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK, guru mempunyai peran ganda : praktisi dan peneliti.
B.     Penelitian Tindakan Kelas Saat Ini
Pada saat ini PTK  berkembang dengan  pesat di Negara-negara maju, seperti Amerika serikat,Kanada,Australia dan  beberapa Negara maju  lainnya. Hal ini disebabkan jenis penelitian ini memiliki kekhasan dan kekhususan serta karakteristik sendiri dibandingkan dengan jenis penelitin pada umumnya. PTK diyakini menawarkan cara dan prosedur baru untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam mengajar mengajar di kelas, dengan melihat berbagai indikator keberhasilan proses dan hasil pembelajaran yang terjadi pada siswa ( suyanto,1997 ). PTK merupakan bagian dari penelitian tindakan ( action research ), sehingga membicarakan sejarah PTK berarti membahas sejarah penelitian tindakan.
            Lahirnya rancangan PTK dapat di telusuri dari awal penelitian dalam ilmu pendidikan yang di inspirasi melalui pendekatan ilmiah yang diadvokasi oleh filsuf John Dewey ( 1910 ) dalam bukunya  How We Think And The Source Of A Science Of Education.
Jenis penelitian ini dapat dilakukan didalam bidang pengembangan organisasi, manejemen, kesehatan atau kedokteran, pendidikan, dan sebagainya. Di dalam bidang pendidikan penelitian ini dapat dilakukan pada skala makro ataupun mikro. Dalam skala mikro misalnya dilakukan di dalam kelas pada waktu berlangsungnya suatu kegiatan belajar-mengajar untuk suatu pokok bahasan tertentu pada suatu mata kuliah. Untuk lebih detailnya berikut ini akan dikemukan mengenai hakikat PTK.
Penelitian tindakan merupakan perkembangan baru yang muncul pada tahun 1940-an sebagai salah satu pendekatan penelitian yang lahir di tempat kerja, tempat di mana peneliti melakukan pekerjaan atau aktivitas sehari-hari. Misalnya, kelas merupakan tempat penelitian bagi guru, sekolah menjadi tempat penelitian bagi kepala sekolah, aktivitas masyarakat tempat penelitian bagi petugas penyuluh masyarakat. Penelitian yang dilakukan di tempat peneliti bekerja atau beraktivitas adalah untuk memperbaiki kinerja di mana si peneliti bekerja tanpa harus melakukan penelitian di tempat lain. Penelitian tindakan merupakan penelitian yang bersifat pragmatis (praktis) tanpa harus membutuhkan waktu khusus. Penelitian tindakan dilakukan bersamaan ketika si peneliti sedang bekerja atau beraktivitas di tempat kerjanya, tanpa mengganggu secara berarti pekerjaannya tersebut.
Akhir-akhir ini action research menjadi populer dilakukan oleh para profesional dalam upaya menyelesaikan masalah dan peningkatan mutu. Dengan demikian, action research bermula dari suatu masalah yang terjadi dalam suatu aktivitas tertentu. Demikian juga halnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Awal mulanya action research yang dikembangkan untuk mencari penyelesaian terhadap sosial antara lain; pengangguran, kenakalan remaja yang berkembang  di masyarakat pada waktu itu. Action research dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap suatu problema tersebut secara sistematis. Hasil kajian ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun suatu rencana kerja sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan dan rencana kerja yang telah disusun, dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang hasilnya digunakan sebagai masukkan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi ada saat pelaksanaan. Hasil dari proses seleksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan dan penyempurnaan rencana tindakan selanjutnya.
Dilihat dari aspek sejarah, penelitian tindakan pertama kali di kembangkan oleh seorang psikologi sosial yang bernama Kurt Lewin . Lewin dipandang sebagai tokoh penelitian tindakan, terutama untuk dibidang psikologi dan pendidikan. Ditempat kerjanya, dia mengembangkan model penelitian selama beberapa tahun yang kemudian terkenal dengan Action research, yaitu serangkain eksperimen terhadap komunitas masyarakat pada waktu itudi Negara amerika serikat pada pascaperang. Penelitian tindakan dilakukan lewis dilakukan utamanya berkaitan dengan pekerjaanya dalam bermacam-macam konteks perumahan terpadu. Penelitian tindakan yang emansipatoris berhubungan dengan gerakan social dibidang pendidikan ( kemis,1993). Hal ini sebagai ekspresi dari inspirasi nyata dan praktis untuk mendoro0ng perubahan di dunia social ( pendidikan ) menjadi lebih baik, dengan melakukan tindakan-tindakan perbaikan social bersama kemudian memahami bersama makna tindakan-tindakan ini  dan berbagai situasi tempat tindakan-tindakan perbaikan di laksanakan.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya.
Penelitian tindakan adalah cara suatu kelompok atau seseorang dalam mengorganisasi suatu keadaan sehingga mereka dapat mempelajari pengalaman mereka dan membuat pengalaman mereka dapat di akses oleh orang lain ( Sukardi, 2007 ). Dalam praktiknya, penelitian tindakan dapat dilakukan baik secara kelompok maupun perseorangan  dengan harapan pengalaman mereka dapat ditiru atau diakses untuk memperbaiki kualitas kinerja orang lain. Secara praktis, penelitian tindakan pada umumnya sangat tepat untuk meningkatkan kualitas subjek yang hendak diteliti. Subjek penelitian ini dapat berupa kelas maupun sekelompok orang yang bekerja di industry atau lembaga social lain yang berusaha meningkatkan kualitas kinerja.
Menurut Kemmis ( 1993),penelitian tindakan dibidang pendidikan meningkat dari penelitian yang sifatnya amatiran atau penelitian yang kumuh menjadi penelitian yang professional pada dekade tahun 1970-an terutama dikalangan yang menaruh perhatian terhadap isu-isu pendidikan  dan yang memahami betapa kompleksnya kaitan antara gagasan-gagasan dengan kehidupan,antara teori dengan praktik,antara ahli kemasyarakatan dengan orang awam, padahal mereka hidup dan bekerja pada satu dunia.
Dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran action research berkembang menjadi  classroom action research ( CAR ). Sebagai suatu penelitian terapan,PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan proses dan kualitas atau pembalajaran di kelas.Dengan melaksanakan tahapan-tahapan PTK, guru dapat menemukan penyelesaian bagi masalah yang terjadi dikelasnya sendiri dan bukan dikelas guru yang lain. Tentu saja dengan menerapkan berbagai ragam teori dan tehnik pembelajaran yang relevan secara kreatif .
Selain itu, sebagai peneliti praktis,PTK dilaksanakan bersamaan guru melaksanakan tugas utama, yakni mengajar dikelas,tanpa harus meninggalkan siswanya dikelas. Dengan demikian,PTK merupakan suatu penelitian yang melekat pada guru ,yakni mengangkat masalah-masalah actual yang dialami oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK diharapkan guru memiliki peran ganda yaitu sebagai praktisi dan sekaligus sebagai peneliti.
Classroom action research (CAR) adalah action research yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas. Action research pada hakikatnya merupakan rangkaian “riset-tindakan-riset-tindakan- yang dilakukan secara siklik, dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan. Ada beberapa jenis action research, dua di antaranya adalah individual action research dan collaborative action research (CAR). Jadi CAR bisa berarti dua hal, yaitu classroom action research dan collaborative action research; dua-duanya merujuk pada hal yang sama.
Action research termasuk penelitian kualitatif walaupun data yang dikumpulkan bisa saja bersifat kuantitatif. Action research berbeda dengan penelitian formal, yang bertujuan untuk menguji hipotesis dan membangun teori yang bersifat umum (general). Action research lebih bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Namun demikian hasil action research dapat saja diterapkan oleh orang lain yang mempunyai latar yang mirip dengan yang dimliki peneliti.
C.     PTK Di Indonesia
PTK di Indonesia baru dikenal pada akhir decade 80-an. Oleh karena itu, keberadaanya belum terlalu dikenal luas dan mapan. Keberadaanya sebagai salah satu jenis penelitian masih sering menjadikan pro dan kontra, terutama jika dikaitkan bobot keilmiahannya. Di Indonesia, penelitian tindakan kelas mulai muncul ke permukaan pada waktu upaya-upaya perbaikan mutu pendidikan dicanangkan, seperti  proyek guru SD melalui pendidikan guru sekolah dasar (PGSD). Mereka belajar melalui program-program ke SD-an dan regular pada program pascasarjana LPTK seperti di universitas Negeri Jakarta,Universitas Negeri Malang dan beberapa LPTK lainnya. Hal yang menggembirakan dewasa saat ini banyak tesis dan disertasi di beberapa LPTK sudah mengangkat PTK sebagai kajian dalam tesis dan disertasinya. Kondisi ini sungguh positif dan menggembirakan, mengingat hasil PTK ini dapat memberikan jawaban langsung terhadap permasalahan yang di hadapi guru dalam proses belajar mengajar di kelas.