BERBEDA

Perbedaan Tak Harus Membuat Kita Berselisih Tetapi Justru Membuat Kita Saling Memahami

Rabu, 20 Maret 2013

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA MENUJU KETAHANAN NASIONAL YANG KOKOH






PENDAHULUAN

            Kerukunan umat beragama merupakan dambaan setiap umat, manusia.  Sebagian besar umat beragama di dunia, ingin hidup rukun, damai dan tenteram dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan ibadahnya.
Bangsa Indonesia diciptakan oleh Tuhan dalam suasana kemajemukan, baik dari suku, ras agama maupun budaya. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar didunia dengan berbagai segi kemajemukan sosial-budaya akan tetap menjadi gejala yang harus selalu diperhitungkan dalam mewujudkan keutuhan dan persatuan nasional, kemajemukan atau pluralitas bangsa adalah kenyataan hidup yang sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak saling mengganggu keimanan masing-masing pemeluk agama.
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 manyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.   Peryataan tersebut mengandung arti bahwa keanekaragaman pemeluk agama yang ada di Indonesia diberi kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing.   Namun demikian kebebasan tersebut harus dilakukan dengan tidak mengganggu dan merugikan umat beragama lain, karena terganggunya hubungan antar pemeluk berbagai agama akan membawa akibat yang dapat menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa.[1]
Berbagai kebijakan dan program dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan Ketahanan Nasional yang kokoh, yaitu melalui kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan ketahanan budaya.  Agama mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting dan strategis, utamanya sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan Ketahanan Nasional yang kokoh.   Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, keluarga, masyarakat serta menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara itu dalam dinamika kehidupan beragama di Indonesia seringkali dijumpai kelompok, gerakan atau aliran keagamaan yang dianggap menyimpang dari kaidah, ibadah atau pendirian yang dianut oleh mayoritas umat.   Karena itu, keberadaan mereka seringkali eksklusif, radikal atau ekstrim serta memiliki fanatisme buta, kelompok semacam ini kerap disebut dengan istilah sempalan atau sekte yang menyimpang. Disini pula letak kekurangan kalangan yang sering menyuarakan sikap-sikap tolensi agama.
Selama berabad-abad, suku bangsa di Indonesia umumnya hidup rukun tanpa benturan yang berarti.   Filsafat Pancasila yang bertumpu pada agama melalui Ketuhanan Yang Maha Esa memberi konsep perdamaian abadi, namun dimasa reformasi konflik kesukuan, ras, agama pelapisan masyarakat sepertinya ikut mengusik kerukunan tersebut. 
Negara yang multi agama seperti Indonesia, kerukunan hidup umat beragama merupakan salah satu faktor pendukung terciptanya stabilitas dan Ketahanan Nasional.   Karena itu kerukunan umat beragama perlu dibina dan ditingkatkan agar tidak menjurus kepada ketegangan yang dapat menimbulkan perpecahan bangsa.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah kerusuhan agama, tetapi umat beragama dijadikan alat untuk mempercepat meletusnya kerusahan.   Menurut statistik politik, yang paling cepat menimbulkan kerusuhan adalah alasan agama dan alasan sosial ekonomi.  Sebagai bukti misalnya banyak didaerah terjadi konflik yang di isu kan orang tertentu  menjadi  isu  sentimen  agama  yang walaupun pemerintah telah memberitahukan dengan tegas bahwa kejadian-kejadian yang terjadi bukanlah isu agama tetapi beberapa orang yang tidak bertanggung jawab bahkan yang senang dengan kekacauan untuk mencari keuntungan kelompok ataupun pribadi; sehingga pemerintah tidak mampu membendung keributan terjadi disana sini. Bahkan ada dari beberapa orang yang kita anggap tokoh dalam satu daerah membuat isu yang berelebihan tentang terjadinya penyebaran agama sehingga oleh orang-orang tertentu tadi terjadi konflik bahkan kekisruhan yang berlarut larut sebagai contoh Kristenisasi atau Islamisasi.
Memang kalau kita berbicara tentang agama dan negara akan sulit dimana pertemuannya, namun warga atau umat beragama harus patuh sebagai warga negara kepada aturan negara yang walaupun pada dasarnya bahwa agama tidak boleh diatur oleh negara dan hal ini perlu diatur dengan baik, sehingga umat merasakan pemerintah bertindak adil dan melindungi semua warganya tanpa pilih kasih, karena ketidakrukunan juga bisa terjadi karena aturan pemerintah yang kadang-kadang terlalu over produktif sehingga sesama umat beragama terjadi kecemburuan sosial atau kecemburuan tentang perizinan pendirian rumah ibadah.


BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KERUKUNAN

a.         Pandangan Islam
Dalam mewujudkan kerukunan umat Islam melalui wadah politik temyata sangat sulit dilaksanakan. Untuk itu perlu diupayakan melalui wadah atau metode yang lain. Hal itu ter­gantung dad kesadaran dan kemauan baik para pemimpin Is­lam itu sendiri. Tentunya mereka harus bisa memilih-milih an­tara tujuan dengan alat. Kerukunan dan persatuan umat Islam adalah termasuk tujuan, sebab merupakan bagian dari nilai-nilai dasar ajaran Islam. Sedangkan organisasi, baik orpol maupun ormas, hanyalah alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Pertama, memilih wadah. sejarah kepartaian di Indonesia menunjukan bahwa melalui bidang politik umat Islam sulit bersatu. Tetapi melalui bidang sosial keagamaan atau non politik, kelompok-kelompok umat Islam boleh dikatakan tidak sulit un­tuk diajak bekerja sama. Kita ambil beberapa contoh, misalnya saja melalui wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI) kita meli­hat para pemuka Islam dari berbagai ormas Islam dapat duduk bersama dalam satu meja. Dalam upaya untuk membina dan memantapkan kerukun­an hidup umat beragama kita sangat mengharapkan reran aktif dari pemerintah melalui Departemen Agama dengan segenap aparatnya memberikan bimbingan dan pelayanan kepada masyarakat juga dijiwai oleh semangat untuk merukunkan umat beragama secara menyeluruh.            .
Kedua, memilih metode. Telah banyak cara yang dicoba untuk memperkukuh kerukunan hidup antar umat Islam, se­perti : mengadakan musyawarah, sarasehan, silaturahmi, diskusi, seminar, kerja sama sosial kemasyarakatan dan lain-lain. Kita mengetahui bahwa dalam menyampaikan informasi kepada umat, maka yang menjadi ujung tombak kita adalah para mubaligh/da'i dan dosen/guru agama, karena merekalah yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibentuk semacam forum komunikasi para mubaligh/da'i dan forum komunikasi dosen/guru agama. Mereka dipertemukan untuk bermusyawarah guna untuk menyamakan misi dan visi serta program kerja. Sesuai kondisi saat ini, maka prioritas per­tama ialah memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui khutbah, ceramah, pengajian, kuliah, pelajaran, dan lain-lain; dengan materi tentang pentingnya memperkukuh ukhuwah Islamiah. Khususnya kepada para remaja dan pemuda yang akan menjadi pemimpin di masa depan perlu ditanamkan nilal-nilai tentang ukhuwah Islamiah khususnya, dan alakhlaqul karimah pada umumnya. Para pelajar dan mahasiswa dari berbagal golongan Islam perlu dibiasakan saling bertemu dan bekerjasama, dalam melakukan kegiatan-kegiatan Islam, misalnya bersama-sama menyelenggarakan peringatan hani besar Islam. Kegiatan yang dapat mengerahkan seluruh kekuatan Islam de­ngan sendirinya akan menampakkan syiar Islam.

b.         Pandangan Kristen Protestan
Masalah kerukunan di lingkungan umat Kristen Protestan selama lebih dari dua dasa warsa tidak mengalami permasalahan yang berarti dan menunjukkan semangat keberagamaan yang mengembirakan.
Mengenai nila-nilai kerukunan yang terdapat dalam umat Kristen Protestan yang perlu diingat yaitu terciptanya kesatuan pelayanan bersama yang berpusat pada kasih Kristus. Di depan kita ada kebinekaan masyarakat, pluralisme agama, kemiskinan maupun kekayaan yang dapat menggangu iman dan keperca­yaan seseorang, adanya banyak krisis isu Kristenisasi dan isu-isu Peta Kerukunan Propinsi jawa Tengah yang lain yang menyibukkan kita sepanjang masa. Begitu ba­nyak masalah yang dihadapi oleh masyarakat Jawa Tengah pada khususnya, akan tetapi Tuhan menempatkan umat-Nya dalam rangka rencana menyelamatkannya. Kita sadar bahwa banyak masalah-masalah yang dihadapi, namun kita harus bersyukur bahwa sudah banyak masalah yang dapat diselesaikan walau­pun hasilnya belum memuaskan. Karena situasi umum masya­rakat kita komplek dan menantang, begitu juga situasi kekristenan yang memprihatinkan karena berkaitan dengan per­tumbuhan baik yang bersifat kuantitas maupun kualitas yang semu. Oleh karena itu perlu lebih kritis dalam menilai pertum­buhan yang bersifat ke dalam, artinya berkaitan dengan gereja-gereja, agar jangan terlalu gegabah untuk mengatakan sudah banyak yang kita perbuat dalam kesatuan pelayanan. Di samping itu kita dituntut bersama atas misi yang sama terhadap pelayanan bagi masyarakat untuk menjadi berkat bagi sentiap orang. Kesatuan pelayanan itu didasarkan atas ketaatan dan kesetiaan kepada misi yang dipercayakan sebagai umat yang satu dan yang menerima tugas yang satu, dari Kristus untuk dunia.

c.         Pandangan Kristen Katolik
Pertama, Pembebasan Menuju Persaudaraan Sejati. Masa depan bangsa ada di tangan kita juga. Kalau kita berkutat hanya memikirkan luka-luka bathin, kita akan menetap dalam status quo identitas kelompok. Dalam konteks Indonesia dewasa ini kalau kelompok-ke­lompok masyarakat mampu membebaskan diri dari kepentingan kelompok dan berorientasi ke kesejahteraan umum (bonum commune), proses membangun Indonesia menuju persaudaraan sejati terjadi. Dalam orientasi itu diandaikan mampu melihat nilai-nilai luhur yang ingiri diraih. Mungkin tidak disadari oleh kelompok, tetapi dalam proses akan ditemukan, bahwa yang digali adalah penghormatan terhadap martabat manusia seba­gai pribadi. Dasar kemanusiaan ini akan mengembangkan se­mangat solidaritas. Selanjutnya kalau makin berkembang akan memiliki sikap mengutamakan keberpihakan pada yang lemah. Nilai-nilai universal itulah yang hendaknya disasar dalam mem­bangun persaudaraan sejati. Kedua, Dialog Hidup Menuju Dialog Karya dan Shar­ing Iman. Apa arti dialog? Dialog bukan hanya berdiskusi, tetapi juga meliputi semua hubungan antar umat beragama yang positif dan konstruktif dengan pribadi pribadi dan jemaat-jemaat dari agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya pengetahuan.
Dalam mencapai kebenaran manusia menyadari baik batas-batasnya maupun kemampuan-kemampuannya un­tuk mengatasinya. Orang yang tidak memiliki kebenaran secara sempurna dan utuh, tetapi dapat bersama orang-orang lain me­nuju kebenaran tadi. Peneguhan timbal balik, saling mengoreksi dan hubungan persahabatan akan membawa rekan dialog men­jadi makin matang, yang pada akhimya akan menghasilkan persatuan antara pribadi. Dialog kehidupan mencakup perha­tian, penghormatan dan sikap ramah kepada orang lain mengenal, identitas pribadinya, caranya mengungkapkan, nilai-nilai miliknya. Dialog karya merupakan penemuan titik temu karya bersama dan kerjasama dengan orang lain, lintas iman/agama/kepercayaan untuk tujuan yang ditentukan bersama. Dialog sharing iman dimaksud agar saling membagi pengalaman iman mengenal pihak lain, menge­nai do'a, ungkapan ibadatnya dan lain-lain. Akhir-akhir ini muncul di kalangan kaum muda lintas iman untuk hadir dalam upacara keagamaan, yang cukup diterima umat. Untuk dialog sharing iman ini diandalkan para peserta sudah maju tarap berfikimya, karena mereka itu sudah yakin akan kebenaran agamanya sendiri, tetapi ingin diperkaya pengalaman bersama umat yang berbeda imannya.

d.         Pandangan Hindu
Dalam upaya membina dan meningkatkan kerukunan umat agar senantiasa melaksanakan atau mewujudkan dharma dalam bentuk karma sesuai dengan swadharma masing-masing dan senantiasa memahami dan mengaplikasikan ajaran Tri Rita Karana dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya di hafal ataupun diucapkan saja. Dengan pemahaman swadharma, akan terhindar dari pola pikir meremehkan orang lain, merendahkan orang lain, ataupun agama orang lain, karena derajat manusia sesama ciptaan Tuhan adalah sama. Orang akan bekerja sesuai dengan profesi, dan menghargai profesi orang lain sesuai de­ngan swadharmanya, karena pada hakikatnya bekerja yang sesuai dengan dharma adalah merupakan pengabdian kepada Tuhan. Dengan demikian akan tercipta rasa kedamaian dan keadilan sebagai atas penunjang terciptanya kerjasama dan akhirya menciptakan kerukunan sebagaimana yang diharapkan.

e.         Pandangan Budha
Nilai-nilai kerukunan yang terdapat dalam agama Budha yaitu tercermin bagi umat Budha dalam menjalankan pelajaran 8 jalan utama, yaitu Pengertian yang benar dan Pikiran yang benar, yang akan membawa Kebijaksanaan dalam kehidupan­nya di dunia ini. Selanjutnya dengan Ucapan, Perbuatan dan Mata Pencahariannya yang baik akan membawanya kepada Sila atau Budi Pekertinya yang luhur. Sehingga bila mereka-mereka ini telah dapat menjalankannya, setidak-tidaknya berusaha me­menuhi lima jalan utamanya terlebih dahulu, yaitu pengertian, pikiran, ucapan, perbuatan, dan mata pencaharian yang baik, berarti bisa menjalankan kehidupan di dunia ini yang lumrah sebagai manusia.
Mengapa Sang Budha mengajarkan Pengertian yang benar sebagai jalan pertama dari delapan jalan utama yang diajarkan.  Karena pengertian yang benar dan baik itu. merupakan kunci yang utama dalam kehidupan sosial bermasyarakat di dunia ini. Dalam hubungan berumah tangga, hubungan bertetangga, hu­bungan dalam pekerjaan dan hubungan apa saja di dalam ber­masyarakat memerlukan pengertian yang benar dan baik, sehingga hubungan-hubungan itu bisa berjalan dengan baik tanpa ada keributan, atau dengan kata lain tercipta adanya ke­rukunan. Maka ada istilah yang mengatakan, bila anda merasa hidup ini merasa menderita belajarlah dari agama Budha, nanti anda akan diajarkan sampai mendetail bagaimana cara melepas­kan penderitaan itu. Umat Budha itu berpandangan bahwa ma­nusia hidup di dunia ini pada dasarnya mengalami penderita­an, maka dalam perjalanan hidup ini hindarilah hal-hal yang akan menambah penderitaannya, dengan kunci, yaitu pengertian yang benar.
Salah satu penyebab konflik antar umat beragama adalah disebabkan oleh pemahaman terhadap ajaran agama secara parsial, sehingga pemahamannya tidak menjadi utuh. Pemahaman seperti ini akan melahirkan kelompok masyarakat yang memiliki cara pandang yang sangat sempit, yang sering mengakibatkan kekeliruan yang tidak mereka sadari. Ajaran agama, seharusnya dipahami secara integral sosial menyeluruh sehingga pemahaman­nya menjadi lurus sosial terhindar dari pemahaman yang ekstrim.    Kelompok­ kelompok sempalan dalam beragama yang umumnya bersikap keras dan kaku, kebanyakan disebabkan oleh pemahaman yang secara parsial, sebagaimana disebutkan diatas.


KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA BERDAMPAK LUAS KEPADA KETAHANAN NASIONAL

Kerukunan hidup beragama adalah keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan dan kehidupan bermasyarakat yang saling menguatkan dan diikat oleh sikap pengendali diri dalam wujud: 1) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya; 2) Saling hormat menghormati dan bekerja sama intem pemeluk agama, antara berbagai golongan agama dan antara umat­umat beragama dengan pemerintah yang sama-sama beitanggung jawab membangun bangsa dan negara; 3) Saling tenggang rasa dengan tidak memaksakan agama kepada orang lain.
Dalam rangka inilah Pemerintah melalui Departeman agama bertugas membina, mem­bimbing rakyat untuk beragama guna menjalankan agamanya, sesuai dengan salah satu tugas pokok Dapertemen Agama, yaitu memelihara dan melaksanakan falsafah negara pancasila dengan jalan membina, memelihara dan melayani rakyat agar menjadi bangsa Indonesia yang beragama.

Peranan agama secara pribadi adalah penting, yaitu keyakinan dan ketentuan beragama tiap-tiap individu untuk tidak menjalankan hal-hal yang terlarang oleh agama. Karenanya sasaran penataan agama-agama dengan sendirinya tidak lain ditujukan kepada pemeluk agamanya masing-masing, supaya lebih mendalami penghayatan dan pengamalan ajaran-ajaran agamanya.     Dengan demikian kerukunan akan mudah terbina jika setiap umat beragama taat ajaran agamanya masing-masing. Setiap agama meng­ajarkan kerukunan dan kebaikan, maka kalau orang sungguh-sung­guh mentaati ajaran agama diharapkan kerukunan akan terbina.
Dalam kehidupan manusia yang demikian majemuk peran serta agama sangat berpengaruh untuk memberikan pengertian bagi setiap umat bagaimana hidup bertetangga dengan rukun dan penuh persahabatan dan tidak ada saling mencurigai serta mampu memahami bahwa agama yang dipeluk oleh orang lain juga mengajarkan hidup berdampingan dengan baik bahkan mampu saling menerima, serta mencairkan kehidupan yang bersifat elitisme yang berarti hanya kelompok tertentu yang diakui atau disegani.
Dialog serta diskusi pengembangan wawasan multikultural para pemuka agama pusat dan daerah yang berlangsung selama 2 - 3 tahun ini benar-benar memberikan perubahan bagi para pemuka agama baik di pusat dan di daerah, hanya saja karena komunitas kehadiran yang terbatas kami ragu hal-hal yang dicapai atau didiskusikan dalam kunjungan ini tidak sampai kepada yang paling bawah atau umat binaan.  Pluralitas bangsa Indonesia tercermin dengan berbagai perbedaan, baik vertikal maupun horizontal namun perbedaan itu disatu sisi dapat menjadi penghalang dalam menciptakan integrasi masyarakat, tetapi di sisi lain dapat juga menjadi aset dan kekayaan bangsa yang dapat mempermudah tercapainya kemajuan untuk seluruh warga.  Apakah perbedaan itu menjadi asset atau beban, terletak bagaimana cara kita mengelola perbedaan perbedaan itu.
Kehidupan sosial yang tidak mengelompok dalam suatu komunitas dan adanya interaksi di antara sesama warga komunitas dapat di lihat sebagai potensi untuk terciptanya ke­rukunan antargolongan masyarakat, termasuk antaragama. Oleh karena itu, perlu diciptakan arena-arena interaksi yang dapat menjebatani perbedaan-perbedaan sosial yang dapat digalang untuk menciptakan solidaritas sosial. Ada sejumlah struktur kegiatan dalam kehidupan sosial yang dapat dijadikan akomodatif dan terbuka bagi semua golongan sehingga dapat ineredam isu dan konflik yang dapat muncul, terutama konflik yang bersifat antaar golongan atau antar kelompok.
Dalam kehidup­an ekonomi tidak terlihat adanya identitas agama yang diaktifkan untuk memenangkan persaingan dalam kehidupan ekonomi. Dalam kehiduan ekonomi hubungan-hubungan itu berlangsung atas dasar keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pihak yang terlibat.
Di bidang politik potensi rukun juga dapat terwujud apabila kebijakan-kebijakan yang diambil tidak didasarkan alas pertim­bangan-pertimbangan subjektif karena persamaan agama dan etnik.  Penempatan pejabat dalam pemerintah yang tidak didasarkan alas kesamaan etnik oleh pejabat yang menyangkutnya telah dapat meredam konflik antar golongan etnik. Kegiatan kerja bakti di lingkungan ketetanggaan juga ber­potensi menciptakan kerukunan. Kegiatan kerja bakti atau gotong royong dapat dilihat sebagai kegiatan kerjasama sosial kemasyarakatan yang didasarkan kebutuhan bersama yang sama diperlukan oleh kelompok komunitas yang bersangkutan. Ke­giatan kerja sama untuk kepentingan bersama ini dapat menjembatani keterpisahan yang disebabkan perbedaaan keyakin­an keagamaan yang dianut. Kerja sama dan arena interaksi lain­nya dalam komunitas ketetanggaan dalam berbagai kelompok masyarakat dapat dikembangkan untuk menciptakan suasana kerukunan hidup antar umat beragama karena didasarkan atas keterikatan kepada tempat tinggal yang merasa dimiliki bersama.
Kegiatan sosial yang dilandasi oleh semangat kema­nusiaan merupakan potensi untuk tercipta kerukunan. Bantuan yang diberikan atas dasar kemanusiaan, tanpa menonjolkan ke­lompok keagamaaan yang mendukungnya, dapat menghilang­kan prasangka dan stereotip terhadap kelompok keagamaan yang bersangkutan.  Hal ini disebabkan adanya kerja sama dengan pemerintah setempat dalam mendistribusikan bantuan itu sehingga terasa lebih netral dan tidak ada maksud terselubung di balik pemberian bantuan itu.
Adanya masalah yang dirasakan sebagai masalah bersama yang harus diatasi telah mendorong pula munculnya forum antar golongan yang bisa menjebatani perbedaan dan memba­tasi hubungan di antara mereka yang dapat menghambat interaksi dan kerja sama.
Potensi Kerukunan Hidup Umat Beragama. [2]   Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya dan agama dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat menjunjung tinggi demokrasi. Salah satu wujud dari terseleng­garanya demokrasi itu di antaranya memberikan kebebasan ke­pada warga negara untuk memilih/memeluk agama yang men­jadi keyakinan setiap warga negara dan senantiasa dalam koridor saling menghormati satu dengan lainnya. Dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini, Indonesia tengah di koyak oleh kon­disi politik yang tentunya berdampak pada ekonomi kerakyatan dan segala uborampenya ikut-ikutan porak-poranda.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi, meliputi : kesenjangan ekonomi antar umat beragama dan perlakuan yang berbeda ter­hadap tenaga kerja yang beragama lain, adanya pengakomodiran agama sebagai alat untuk mempertahankan suatu kekuasaan (agama dipolitisasikan), merebaknya budaya yang bertentang­an dengan nilal-nilai moral, adanya ketidaksamaan terhadap aset-aset yang dimiliki oleh tempat-tempat beribadah.
Mengenai situasi dan kondisi kehidupan umat beragama yang diharapkan, yaitu adanya kesamaan berusaha/berkarir di sektor ekonomi, mengadakan peningkatan kegiatan bersama untuk kepentingan kebaikan bersama, menciptakan/menjadikan agama sebagai suatu yang netral dan bukan merupakan salah satu alat untuk mensukseskan sebuah politik, terciptanya budaya yang didasari dengan kemuliaan ajaran-ajaran agama, menciptakan sistem keamanan yang baik dalam rangka meng­hindarkan penjarahan terhadap aset-aset yang dimiliki oleh tempat-tempat ibadah.
Sedangkan usaha-usaha yang ditempuh untuk meningkat­kan kerukunan hidup umat beragama meliputi peningkatan sumber berdaya umat beragama lewat pendidikan dan pelatihan di bidang ekonomi, mengadakan peningkatan silaturahmi dengan mengedepankan keluhuran dan kebersamaan antar agama, men­ciptakan stabilitas politik yang dinamis serta mensosialisasikan pengetahuan tentang politik kepada masyarakat luas, menga­dakan peningkatan pengajaran tentang nilai-nilai agama untuk menanggulangi budaya yang merusak moral umat beragama, mengadakan konsolidasi dengan pemuka-pemuka agama di suatu wilayah untuk menata/mengatur strategi pengamanan tempat-tempat ibadah, mengadakan peningkatan kewaspadaan, terpadu antara pemuka-pemuka agama demi terciptanya keamanan bersama sehingga terciptanya tujuan pembangunan nasional yang diharapkan dengan demikian Ketahanan Nasional (Tannas) yang kokoh akan terwujud dengan sendirinya.
Ketahanan Nasional (Tannas) adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhanyang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional .dalam menghadapi dan mengatasi segala Tantangan, Ancaman, Hambatan, dan Gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun yang tidak langsung untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungn hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mencapai Tujuan Nasional. Hakikat Ketahanan Nasional adalah kemampuan dan kekuatan bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional.
Dalam uraian tersebut diatas, Ketahanan Nasional adalah kondisi kehidupan nasional yang diinginkan. Proses untuk mewujudkan kondisi tersebut memerlukan konsepsi yang dinamakan konsepsi Ketahanan Nasional (Konsepsi Tannas).[3]
Konsepsi Tannas adalah konsepsi pengembangan kemampuan dan kekuatan nasional melalui pengeturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh, menyeluruh dan terpadu berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan Wasantara. Konsepsi Tannas merupakan sarana untuk mewujudkan kemampuan dan kekuatan nasional.
Hakekat konsepsi Tannas adalah pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam kehidupan nasional. Ketahanan  Nasional  mengandung  prinsip  dasar pengejawantahan Pancasila, UUD 1945 dan berpedoman kepada wasantara dalam segenap aspek kehidupan nasional secara terpadu, utuh, menyeluruh.
Peranan Ketahanan Nasional dan konsepsi Ketahanan Nasional dalam kehidupan Nasional dan pembangunan nasional adalah :
-  Tannas merupakan tolok ukur kondisi keberhasilan penyelenggaraan kehidupan nasional dan pembangunan nasional.
- Tannas yang tangguh akan lebih mendorong laju pembangunan nasional dan keberhasilan pembangunan nasional akan lebih meningkatkan ketangguhan Tannas.
-  Konsepsi Tannas merupakan metode dan pendekatan komprehensif integral dalam penyelenggaraan kehidupan nasional dan pembangunan nasional.
-  Konsepsi Tannas sebagai pola dasar pembangunan nasional yang dilakukan melalui RPJMN.

Proses pelaksanaan pembangunan harus terus berlangsung dan mencakup seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga diperlukan suatu Ketahanan Nasional yang kokoh, yang mampu mengantisipasi berbagai kecenderungan ancaman yang dapat terjadi ditengah-tengah masyarakat, dan perlu mendapat perhatian bahwa dalam mewujudkan ketahanan yang kokoh perlu didukung oleh seluruh umat beragama di Indonesia yang memiliki pemahaman yang utuh atas nilai nasional dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi.


PENUTUP

a.         Kesimpulan.

Bangsa Indonesia ditakdirkan sebagai sebuah bangsa dengan corak masya­rakat yang plural (pluralistic society).  Pluralitas masyarakat Indonesia ditandai dengan ciri yang bersifat horizontal dan vertikal. Ciri horizontal terlihat pacta kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial yang berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat sella kedaerahan. Kemajemukan ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keadaan geografis, bisa merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya kepada terciptanya pluralistik suku bangsa Indonesia.
Dalam upaya membangun kerukunan hidup antar umat beragama, serta mengurangi konflik sosial dan tindak kekerasan yang terjadi pada masyarakat, maka seluruh komponen bangsa harus menyamakan langkah dan meningkatkkan persaudaraan yang kemudian diujudkan dalam agenda-agenda yang kongkrit. Pesan elit politik dan pemuka agama haruslah menjadi garda depan dalam me­laksanakan langkah-langkah menuju pada perbaikan dalam sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  
Saat ini kemajemukan berkembang cepat akibat pembangunan di berbagai daerah. Daerah yang tadinya homogen, tiba-tiba berkembang menjadi heterogen. Hal ini kurang atau tidak diimbangi dengan kelancaran komunikasi antara sesama kelompok masyarakat bahkan sebagian kelompok masyarakat menjadi asing bagi masyarakat lainnya, meskipun tinggal di wilayah yang sama. akibatnya muncul dan berkembang rasa saling curiga.   Maraknya dialog antar umat beragama yang terjadi saat ini ternyata belum sanggup untuk seratus persen menghentikan adanya konflik di masyarakat, baik yang dipicu oleh kesenjangan sosial ataupun yang juga diduga disebabkan oleh permasalahan agama.
Keadaan seperti ini akan semakin sulit jika jembatan komunikasi di antara pemuka agama dan tokoh masyarakat kurang atau tidak tersedia. Kegagalan berkomunikasi dan ketidakmampuan mengelola perbedaan dengan baik, dapat mengakibatkan krisis yang semestinya dapat diredam, justru berkembang menjadi lebih besar dan sulit untuk ditanggulangi.
Kerukunan hidup beragama adalah keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan dan kehidupan bermasyarakat yang saling menguatkan dan diikat oleh sikap pengendali diri dalam wujud: 1) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya; 2) Saling hormat menghormati dan bekerja sama intem pemeluk agama, antara berbagai golongan agama dan antara umat­umat beragama dengan pemerintah yang sama-sama beitanggung jawab membangun bangsa dan negara; 3) Saling tenggang rasa dengan tidak memaksakan agama kepada orang lain.

b.                 Saran.

Sebelum aturan itu dibuat atau diundangkan pemerintah harus melihat apakah masyarakat kita bisa menerima kehadiran aturan itu apa tidak. Membangun keutuhan serta kebersamaan yang diharapkan bangsa sehingga aturan yang dibuat tidak menimbulkan gejolak atau kecurigaan sesama umat atau memang perlu terlebih dahulu dilakukan penyuluhan ataupun pendidikan untuk mendalami materi-materi yang dituangkan dalam aturan atau undang-undang yang diberlakukan.
Konflik adalah kodrati manusia yang hidup dan berkembang.    Konflik dapat dijadikan sebagai sebuah bentuk pendekatan untuk memberikan rangsangan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Semangat penyiaran agama dikalangan penganutnya perlu dibina dan dikembangkan dalam bingkai kerukunan dan perdamaian. Aktivitas penyiaran agama harus mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan dan harus menjunjung tinggi etika yang berhubungan dengan hal tersebut.
Peran pemerintah sangat diperlukan dalam rangka pencerdasan umat beragama. Peran itu dapat diwujudkan antara lain dengan menyalurkan tenaga penyuluh agama yang cerdas dan bertanggung jawab. Peran yang sama diharapkan tumbuh dikalangan organisasi social keagamaan. Umat beragama yang lebih cerdas tidak mudah terkena provokasi dan ajakan yang menyesatkan dan merugikan warga masyarakat.


   
DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI, ”Kebijakan Departemen Agama dari Masa Ke Masa, Dalam Kurun Setengah Abad”, Badan Litbang Keagamaan Depag, Jakarta, 1996.

Taher Tarmizi dan Moch. Basofi Soedirman, ”Ham dan Pluralisme Agama” Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), Surabaya,1997.

Yusuf Fuad Choirul dan Muchtamil, ”Berbagai Aspek Penelitian Keagamaan di indonesia, Kumpulan Sinopsis Hasil Penelitian” Badan Litbang Keagamaan Depag, Jakarta, 2000.

Jalaluddin, H, Dr. Prof, ”Psikologi Agama”, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Suryosumarto Budisantoso, H,”Ketahanan Nasional Indonesia, Penangkal Disintegrasi bangsa dan Negara”, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 2001.

Daulay Zainuddin, M ”Mereduksi Eskalasi Konflik Antar Umat Beragama Di Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Keagamaan, Jakarta, 2001.

Pranowo Bambang, M dan Darmawan, ”Reorientasi Wawasan Kebangsaan di Era Demokrasi” Departemen Pertahanan RI dan Adicita karya Nusa, Yogyakarta, 2003.

Departemen Agama RI, ”Riuh di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”, badan Litbang dan Diklat Keagamaan’ Jakarta, 2003.

Setiabudi Natan, Pdt, Ph.D, ”Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Dalam Kepentingan Nasional Indonesia”, Jurnal Paskal, Pusat Kajian Strategis kepentingan nasional, Jakarta, 2003.

Achmad Firdaus, ”Komunikasi Lintas Agama dan Budaya, Upaya membangun Paradigma Dialog Bebas Konflik, Potret Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”, Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang dan Diklat Keagamaan, Jakarta, 2005.

Lubis Ridwan HM, Prof, DR, ”Meretas Wawasan & Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”, Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Keagamaan, Jakarta, 2005.

Departemen Agama RI, ”Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama”, Edisi Kedelapan, Badan Litbang dan Diklat Keagamaan, Jakarta, 2006.

 

[1] Departemen Agama RI, Kebijakan Departemen Agama Dari Masa ke Masa, Dalam Kurun Setengah Abad, Jakarta, 1996, hal110.
[2] Departemen Agama RI, Riuh Di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia, Badan Litbang Dan Diklat Keagamaan, Jakarta, 2003, hal, 109.
[3] Suryosumarto Budisantoro, H. “Ketahanan Nasional Indonesia, Penangkal Disintegrasi Bangsa dan Negara” Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hal. 54.

MORALITAS PENDIDIKAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL


 
A. Pendahuluan
Pendidikan, adalah suatu usaha disengaja yang diperuntukan bagi upaya mengantarkan anak didik untuk menuju pada tingkat atau taraf tertentu, baik moral maupun intelektual.  Maka sarana yang ingin dicapai suatu proses didik tidak akan pernah beranjak dari konsep dasar yang disebut dengan “transfer of values”  dan  “transfer of knowledge”.  Sebagai aspek pokok, maka kedua hal tersebut senantiasa bertaut dalam mempertemukan antara fungsi dan tujuan pendidikan.
Dengan demikian dan sesuai pula dengan cirri pendidikan kita, maka pembangunan dapat lebih diarahkan pada target tertentu, karena kita memiliku human capital  yang dapat menjalankan dan memenuhi amanah bangsa.  Di bagian lain, sebagaimana yang digaribawahi Mochtar Buchari [1994:viii], pendidikan akan menjadi sarana yang baik bagi pembangunan dan pendidikan sekaligus menjadi sarana pembangunan itu sendiri.
Dalam konteks tersebut, maka pendidikan cenderung pada suatu yang bersifat basic yaitu tidak semata-mata hanya berorientasi pada cita-cita intellectual oriented  saja, yang hanya menjadikan seseorang cerdas, tapi melupakan nilai-nilai ketuhanan, individual, dan juga nilai-nilai sosial. Artinya, proses pendidikan di samping akan menuntut dan memancing potensi intelektual seseorang, juga menghidupkan focus pada mempertahankan unsure manusiawi dalam dirinya dengan landasan etika, estetika, dan logika  dalam kehidupannya.
Disini kita memang menangkap betapa konservatifnya system pendidikan, karena hanya ingin bertahan pada posisi basic peran, fungsi, dan tujuannya, sesuai schooling system  yang kita anut. Untuk itu, pendidikan tidak dapat dijebak pada langkah-langkah praktis, atau apalagi pragmatis.

B. Alat Mobilitas Sosial
Penerapan etika konsistensi dalam perwujudan idealisasi keharusan pada suatu proses pendidikan, mestinya tidak akan mempertentangkan kita dengan segala sesuatu yang berlawanan dengan konsep dasar tersebut. Namun karena hal ini seringkali terabaikan, maka kita harus berkali-kali pula meneriakkan bahwa pendidikan tidak menyetujui adanya unsure praktis-pragmatis di dalamnya. Akibatnya, disadari atau tidak, kekhidmatan kita terhadap konsep ideal pendidikan menjadi sangat berkurang, dan bahkan sekaligus menjebaknya dalam suatu keharusan yang sesungguhnya bukan tanggungjawab pendidikan.
Memang diakui, sebagai salah satu system sosial, pendidikan terikat dengan berbagai aturan dan kebijakan, yang membuat pendidikan sebagai unit system yang tidak memiliki fleksibelitas dan mempu mengikuti perkembangan di sekelilingnya secara mudah [M.Rusli Karim, 1991:128].  Tetapi jangan lupa, bahwa hal tersebut sesungguhnya tidak semata-mata untuk mengungkung keberadaan pendidikan yang akan dilangsungkan. Tetapi lebih dari itu, agar pendidikan tetap perifikatif dan konsisten dengan konsep dasar yang disandangnya.
Hal ini diperlukan, karena perkembangan sosial yang tertransfer dalam masyarakat kita yang tampaknya baru dalam proses transisi, dari agraris ke industrial, atau baru memulai kehidupan industrial, mendorong masyarakat untuk cenderung menjadikan pendidikan sebagai alat ampuh untuk mengantarkannya memasuki keadaan baru tersebut. Sekalipun keberadaan pendidikan berfungsi sebagai salah satu alat penting dalam mengejar ketertinggalan [underdevelopment of backwardness] di segala bidang, tidaklah berarti dapat membawa dunia pendidikan dalam perlakuan yang praktis dan atau pragmatis.
Terhadap hal tersebut, kiranya perlu dicermati secara lebih seksama. Sekurang-kurangnya sejak dua dasawarsa terakhir, pendidikan mulai diperlakukan secara tidak adil terencana dengan menjadikan sebagai alat mobilitas sosial yang disertai dengan penghargaan-penghargaan pragmatis yang diluar jangkauannya.
Sebagaimana yang disenyalir prof. S. Nasution [1983:16-17], bahwa sekolah sering dipandang sebagai jalan mobilitas sosial, karena melalui pendidikan orang dari golongan rendah dapat meningkatkan status sosialnya ke golongan yang lebih tinggi. Dengan dasar ini, maka kebanyakan orang tua yang berusaha menyekolahkan anaknya sekuat tenaga dan setinggi mungkin, tidaklah lepas dari penghargaan tersebut.
Hal in menunjukkan, bahwa pendidikan kita telah dijadikan satu-satunya system yang ampuh dan diikatkan pada sector praktis-pragmatis, yang secara pasti menjamin perbaikan hidup seseorang, yang seringkali dikur secara ekonomis. Sisi yang lebih merugikan lagi adalah setelah para tokoh pendidikan sendiri juga menaruh kepercayaan pada keampuhan pendidikan sebagai alat mobilitas semata-mata dan sebagai perubahan status sisial seseorang ke tingkat yang lebih baik [Nasution, 1983:42].  Hal ini yang dapat kita saksikan adalah selembar ijasah sebagai lambang perstise seseorang yang telah menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu dan untuk mengangkat status sisial  yang lebih baik dan bukan komptensi tertentu.

C. Moral Pendidikan Kita
Prinsip-prinsip yang berkembang sebagaimana yang dijelaskan di atas, secara nyata telah menggeser idealisme pendidikan, karena hanya berada dalam wilayah material.  Pendidikan telah begitu dikaitkan atau ditekankan pada orientasi intelektual semata atau intelektual dengan kemampuan ketempilan tertentu.  Mungkin saja bagi sekolah kejuruan yang jumlah sedikit itu, asumsi-asumsi yang demikian boleh jadi sebagai kewajaran. Tetapi, jika berlaku luas dan merambah seluruh proses pendidikan maka ini menjadi persoalan penting untuk dicermati.
Sebenarnya, pendidikan berproses pada transfer of values dan sekaligus transfer of knowledge. Tapi pendidikan dengan pola yang berlangsung di atas, akan menciptakan suatu aleansi terhadap aspek immaterial. Dengan begitu, lahirlah unsure profane [pelanggaran] terhadap hak pendidikan dalam bidang rohani, karena hal tersebut cenderung menjadi semacam values inside dalam proses pendidikan.
Penggeseran yang demikian, sesungguhnya memang sulit dihindari secara sempurna, terutama dalam proses awal masa transisi seperti bangsa Indonesia mengalami perpindahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Maka dalam masyarakat demikian, biasanya untuk sementara akan terjadi perubahan struktrural dan perubahan cultural secara tidak sejalan, sehingga terjadi anomie  terhadap perangkat values [Durkheim, 1964:353].
Menurut Kuntowijoyo [1987:11], penyebab tersebut atau terjadinya penyempitan perhatian terhadap system nilai, juga dimungkinkan karena terjadi kesenjangan-kesenjangan antara berbagai bidang dalam kehidupan masyarakat. Maka sebagai akibatnya, individu-individu yang ada di dalamnya akan saling berpacu dengan metode-metode pilihan dan dapat mempercepat pencapaian tujuan dalam mobilisasi yang ditempuhnya.
Proses pendidikan yang dijalani akan lebih menonjolkan aspek keunggulan [materi] dan meninggalkan aspek non-keunggulan [immateri] dalam mengaktualisasikan diri dalam perubahan. Dengan demikian, pendidikan yang berlangsung tidak lagi merangkul aspek yang equilibrium sebagaimana yang digariskan dalam konsep dasar pendidikan kita [transfer of values  dan transfer of knowledge].
Ini kelak yang menjadi gejala yang sangat buruk bagi wajah pendidikan kita sebagai masyarakat yang sosialistis religius, karena pendidikan sebagai system andalam dalam pemeliharaan konsistensi terhadap hal tersebut, tidak lagi berperan sebagaimana mestinya.  Tugas kita sekarang adalah mengembalikan moral pendidikan kita pada posisi yang equilibrium  sebagaimana ide aslinya, sehingga anak cucu kita kelak menjadi orang yang cendekia sekaligus bermoral, karena pendidikan yang dijalani yang memperluas terhadap salah satu aspek dan menciptakan inside terhadap aspek lainnya.  Namun untuk sementara bantuan orangtua dan keluarga dalam mem-back up  hal tersebut sangat penting artinya. Sebab, disitulah kiranya moral pendidikan kita.



Kepustakaan
Buchori, Mochtar, 1994, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Durkheim, Emile, 1964, The Division of Labor in Society, New York, The Free Press.
Hasan A. Rifai dan Amrullah Achmad, 1987, Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, PLP2M, Yogyakarta.
Karim, M. Rusli, 1991, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Kuntowijoyo, 1987, Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Nasution, S., 1983, Sosiologi Pendidikan, Jemmars, Bandung.