Rabu, 20 Maret 2013

MORALITAS PENDIDIKAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL


 
A. Pendahuluan
Pendidikan, adalah suatu usaha disengaja yang diperuntukan bagi upaya mengantarkan anak didik untuk menuju pada tingkat atau taraf tertentu, baik moral maupun intelektual.  Maka sarana yang ingin dicapai suatu proses didik tidak akan pernah beranjak dari konsep dasar yang disebut dengan “transfer of values”  dan  “transfer of knowledge”.  Sebagai aspek pokok, maka kedua hal tersebut senantiasa bertaut dalam mempertemukan antara fungsi dan tujuan pendidikan.
Dengan demikian dan sesuai pula dengan cirri pendidikan kita, maka pembangunan dapat lebih diarahkan pada target tertentu, karena kita memiliku human capital  yang dapat menjalankan dan memenuhi amanah bangsa.  Di bagian lain, sebagaimana yang digaribawahi Mochtar Buchari [1994:viii], pendidikan akan menjadi sarana yang baik bagi pembangunan dan pendidikan sekaligus menjadi sarana pembangunan itu sendiri.
Dalam konteks tersebut, maka pendidikan cenderung pada suatu yang bersifat basic yaitu tidak semata-mata hanya berorientasi pada cita-cita intellectual oriented  saja, yang hanya menjadikan seseorang cerdas, tapi melupakan nilai-nilai ketuhanan, individual, dan juga nilai-nilai sosial. Artinya, proses pendidikan di samping akan menuntut dan memancing potensi intelektual seseorang, juga menghidupkan focus pada mempertahankan unsure manusiawi dalam dirinya dengan landasan etika, estetika, dan logika  dalam kehidupannya.
Disini kita memang menangkap betapa konservatifnya system pendidikan, karena hanya ingin bertahan pada posisi basic peran, fungsi, dan tujuannya, sesuai schooling system  yang kita anut. Untuk itu, pendidikan tidak dapat dijebak pada langkah-langkah praktis, atau apalagi pragmatis.

B. Alat Mobilitas Sosial
Penerapan etika konsistensi dalam perwujudan idealisasi keharusan pada suatu proses pendidikan, mestinya tidak akan mempertentangkan kita dengan segala sesuatu yang berlawanan dengan konsep dasar tersebut. Namun karena hal ini seringkali terabaikan, maka kita harus berkali-kali pula meneriakkan bahwa pendidikan tidak menyetujui adanya unsure praktis-pragmatis di dalamnya. Akibatnya, disadari atau tidak, kekhidmatan kita terhadap konsep ideal pendidikan menjadi sangat berkurang, dan bahkan sekaligus menjebaknya dalam suatu keharusan yang sesungguhnya bukan tanggungjawab pendidikan.
Memang diakui, sebagai salah satu system sosial, pendidikan terikat dengan berbagai aturan dan kebijakan, yang membuat pendidikan sebagai unit system yang tidak memiliki fleksibelitas dan mempu mengikuti perkembangan di sekelilingnya secara mudah [M.Rusli Karim, 1991:128].  Tetapi jangan lupa, bahwa hal tersebut sesungguhnya tidak semata-mata untuk mengungkung keberadaan pendidikan yang akan dilangsungkan. Tetapi lebih dari itu, agar pendidikan tetap perifikatif dan konsisten dengan konsep dasar yang disandangnya.
Hal ini diperlukan, karena perkembangan sosial yang tertransfer dalam masyarakat kita yang tampaknya baru dalam proses transisi, dari agraris ke industrial, atau baru memulai kehidupan industrial, mendorong masyarakat untuk cenderung menjadikan pendidikan sebagai alat ampuh untuk mengantarkannya memasuki keadaan baru tersebut. Sekalipun keberadaan pendidikan berfungsi sebagai salah satu alat penting dalam mengejar ketertinggalan [underdevelopment of backwardness] di segala bidang, tidaklah berarti dapat membawa dunia pendidikan dalam perlakuan yang praktis dan atau pragmatis.
Terhadap hal tersebut, kiranya perlu dicermati secara lebih seksama. Sekurang-kurangnya sejak dua dasawarsa terakhir, pendidikan mulai diperlakukan secara tidak adil terencana dengan menjadikan sebagai alat mobilitas sosial yang disertai dengan penghargaan-penghargaan pragmatis yang diluar jangkauannya.
Sebagaimana yang disenyalir prof. S. Nasution [1983:16-17], bahwa sekolah sering dipandang sebagai jalan mobilitas sosial, karena melalui pendidikan orang dari golongan rendah dapat meningkatkan status sosialnya ke golongan yang lebih tinggi. Dengan dasar ini, maka kebanyakan orang tua yang berusaha menyekolahkan anaknya sekuat tenaga dan setinggi mungkin, tidaklah lepas dari penghargaan tersebut.
Hal in menunjukkan, bahwa pendidikan kita telah dijadikan satu-satunya system yang ampuh dan diikatkan pada sector praktis-pragmatis, yang secara pasti menjamin perbaikan hidup seseorang, yang seringkali dikur secara ekonomis. Sisi yang lebih merugikan lagi adalah setelah para tokoh pendidikan sendiri juga menaruh kepercayaan pada keampuhan pendidikan sebagai alat mobilitas semata-mata dan sebagai perubahan status sisial seseorang ke tingkat yang lebih baik [Nasution, 1983:42].  Hal ini yang dapat kita saksikan adalah selembar ijasah sebagai lambang perstise seseorang yang telah menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu dan untuk mengangkat status sisial  yang lebih baik dan bukan komptensi tertentu.

C. Moral Pendidikan Kita
Prinsip-prinsip yang berkembang sebagaimana yang dijelaskan di atas, secara nyata telah menggeser idealisme pendidikan, karena hanya berada dalam wilayah material.  Pendidikan telah begitu dikaitkan atau ditekankan pada orientasi intelektual semata atau intelektual dengan kemampuan ketempilan tertentu.  Mungkin saja bagi sekolah kejuruan yang jumlah sedikit itu, asumsi-asumsi yang demikian boleh jadi sebagai kewajaran. Tetapi, jika berlaku luas dan merambah seluruh proses pendidikan maka ini menjadi persoalan penting untuk dicermati.
Sebenarnya, pendidikan berproses pada transfer of values dan sekaligus transfer of knowledge. Tapi pendidikan dengan pola yang berlangsung di atas, akan menciptakan suatu aleansi terhadap aspek immaterial. Dengan begitu, lahirlah unsure profane [pelanggaran] terhadap hak pendidikan dalam bidang rohani, karena hal tersebut cenderung menjadi semacam values inside dalam proses pendidikan.
Penggeseran yang demikian, sesungguhnya memang sulit dihindari secara sempurna, terutama dalam proses awal masa transisi seperti bangsa Indonesia mengalami perpindahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Maka dalam masyarakat demikian, biasanya untuk sementara akan terjadi perubahan struktrural dan perubahan cultural secara tidak sejalan, sehingga terjadi anomie  terhadap perangkat values [Durkheim, 1964:353].
Menurut Kuntowijoyo [1987:11], penyebab tersebut atau terjadinya penyempitan perhatian terhadap system nilai, juga dimungkinkan karena terjadi kesenjangan-kesenjangan antara berbagai bidang dalam kehidupan masyarakat. Maka sebagai akibatnya, individu-individu yang ada di dalamnya akan saling berpacu dengan metode-metode pilihan dan dapat mempercepat pencapaian tujuan dalam mobilisasi yang ditempuhnya.
Proses pendidikan yang dijalani akan lebih menonjolkan aspek keunggulan [materi] dan meninggalkan aspek non-keunggulan [immateri] dalam mengaktualisasikan diri dalam perubahan. Dengan demikian, pendidikan yang berlangsung tidak lagi merangkul aspek yang equilibrium sebagaimana yang digariskan dalam konsep dasar pendidikan kita [transfer of values  dan transfer of knowledge].
Ini kelak yang menjadi gejala yang sangat buruk bagi wajah pendidikan kita sebagai masyarakat yang sosialistis religius, karena pendidikan sebagai system andalam dalam pemeliharaan konsistensi terhadap hal tersebut, tidak lagi berperan sebagaimana mestinya.  Tugas kita sekarang adalah mengembalikan moral pendidikan kita pada posisi yang equilibrium  sebagaimana ide aslinya, sehingga anak cucu kita kelak menjadi orang yang cendekia sekaligus bermoral, karena pendidikan yang dijalani yang memperluas terhadap salah satu aspek dan menciptakan inside terhadap aspek lainnya.  Namun untuk sementara bantuan orangtua dan keluarga dalam mem-back up  hal tersebut sangat penting artinya. Sebab, disitulah kiranya moral pendidikan kita.



Kepustakaan
Buchori, Mochtar, 1994, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Durkheim, Emile, 1964, The Division of Labor in Society, New York, The Free Press.
Hasan A. Rifai dan Amrullah Achmad, 1987, Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, PLP2M, Yogyakarta.
Karim, M. Rusli, 1991, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Kuntowijoyo, 1987, Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Nasution, S., 1983, Sosiologi Pendidikan, Jemmars, Bandung.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar