A. Pendahuluan
Pendidikan, adalah suatu usaha disengaja yang
diperuntukan bagi upaya mengantarkan anak didik untuk menuju pada tingkat atau
taraf tertentu, baik moral maupun intelektual.
Maka sarana yang ingin dicapai suatu proses didik tidak akan pernah
beranjak dari konsep dasar yang disebut dengan “transfer of values” dan “transfer
of knowledge”. Sebagai aspek pokok,
maka kedua hal tersebut senantiasa bertaut dalam mempertemukan antara fungsi
dan tujuan pendidikan.
Dengan demikian dan sesuai pula dengan cirri pendidikan
kita, maka pembangunan dapat lebih diarahkan pada target tertentu, karena kita
memiliku human capital yang dapat
menjalankan dan memenuhi amanah bangsa.
Di bagian lain, sebagaimana yang digaribawahi Mochtar Buchari
[1994:viii], pendidikan akan menjadi sarana yang baik bagi pembangunan dan
pendidikan sekaligus menjadi sarana pembangunan itu sendiri.
Dalam konteks tersebut, maka pendidikan cenderung pada
suatu yang bersifat basic yaitu tidak semata-mata hanya berorientasi
pada cita-cita intellectual oriented saja, yang hanya menjadikan seseorang cerdas,
tapi melupakan nilai-nilai ketuhanan, individual, dan juga nilai-nilai sosial.
Artinya, proses pendidikan di samping akan menuntut dan memancing potensi
intelektual seseorang, juga menghidupkan focus pada mempertahankan unsure
manusiawi dalam dirinya dengan landasan etika, estetika, dan logika dalam kehidupannya.
Disini kita memang menangkap betapa konservatifnya
system pendidikan, karena hanya ingin bertahan pada posisi basic peran, fungsi,
dan tujuannya, sesuai schooling system yang kita anut. Untuk itu, pendidikan tidak
dapat dijebak pada langkah-langkah praktis, atau apalagi pragmatis.
B. Alat Mobilitas Sosial
Penerapan etika konsistensi dalam perwujudan
idealisasi keharusan pada suatu proses pendidikan, mestinya tidak akan
mempertentangkan kita dengan segala sesuatu yang berlawanan dengan konsep dasar
tersebut. Namun karena hal ini seringkali terabaikan, maka kita harus
berkali-kali pula meneriakkan bahwa pendidikan tidak menyetujui adanya unsure
praktis-pragmatis di dalamnya. Akibatnya, disadari atau tidak, kekhidmatan kita
terhadap konsep ideal pendidikan menjadi sangat berkurang, dan bahkan sekaligus
menjebaknya dalam suatu keharusan yang sesungguhnya bukan tanggungjawab
pendidikan.
Memang diakui, sebagai salah satu system sosial,
pendidikan terikat dengan berbagai aturan dan kebijakan, yang membuat
pendidikan sebagai unit system yang tidak memiliki fleksibelitas dan mempu
mengikuti perkembangan di sekelilingnya secara mudah [M.Rusli Karim,
1991:128]. Tetapi jangan lupa, bahwa hal
tersebut sesungguhnya tidak semata-mata untuk mengungkung keberadaan pendidikan
yang akan dilangsungkan. Tetapi lebih dari itu, agar pendidikan tetap perifikatif
dan konsisten dengan konsep dasar yang disandangnya.
Hal ini diperlukan, karena perkembangan sosial yang
tertransfer dalam masyarakat kita yang tampaknya baru dalam proses transisi,
dari agraris ke industrial, atau baru memulai kehidupan industrial, mendorong
masyarakat untuk cenderung menjadikan pendidikan sebagai alat ampuh untuk
mengantarkannya memasuki keadaan baru tersebut. Sekalipun keberadaan pendidikan
berfungsi sebagai salah satu alat penting dalam mengejar ketertinggalan [underdevelopment
of backwardness] di segala bidang, tidaklah berarti dapat membawa dunia
pendidikan dalam perlakuan yang praktis dan atau pragmatis.
Terhadap hal tersebut, kiranya perlu dicermati
secara lebih seksama. Sekurang-kurangnya sejak dua dasawarsa terakhir, pendidikan
mulai diperlakukan secara tidak adil terencana dengan menjadikan sebagai alat
mobilitas sosial yang disertai dengan penghargaan-penghargaan pragmatis yang
diluar jangkauannya.
Sebagaimana yang disenyalir prof. S. Nasution
[1983:16-17], bahwa sekolah sering dipandang sebagai jalan mobilitas sosial,
karena melalui pendidikan orang dari golongan rendah dapat meningkatkan status
sosialnya ke golongan yang lebih tinggi. Dengan dasar ini, maka kebanyakan
orang tua yang berusaha menyekolahkan anaknya sekuat tenaga dan setinggi
mungkin, tidaklah lepas dari penghargaan tersebut.
Hal in menunjukkan, bahwa pendidikan kita telah
dijadikan satu-satunya system yang ampuh dan diikatkan pada sector
praktis-pragmatis, yang secara pasti menjamin perbaikan hidup seseorang, yang
seringkali dikur secara ekonomis. Sisi yang lebih merugikan lagi adalah setelah
para tokoh pendidikan sendiri juga menaruh kepercayaan pada keampuhan
pendidikan sebagai alat mobilitas semata-mata dan sebagai perubahan status
sisial seseorang ke tingkat yang lebih baik [Nasution, 1983:42]. Hal ini yang dapat kita saksikan adalah
selembar ijasah sebagai lambang perstise seseorang yang telah menamatkan suatu
jenjang pendidikan tertentu dan untuk mengangkat status sisial yang lebih baik dan bukan komptensi tertentu.
C. Moral Pendidikan Kita
Prinsip-prinsip yang berkembang sebagaimana yang
dijelaskan di atas, secara nyata telah menggeser idealisme pendidikan, karena
hanya berada dalam wilayah material.
Pendidikan telah begitu dikaitkan atau ditekankan pada orientasi
intelektual semata atau intelektual dengan kemampuan ketempilan tertentu. Mungkin saja bagi sekolah kejuruan yang
jumlah sedikit itu, asumsi-asumsi yang demikian boleh jadi sebagai kewajaran.
Tetapi, jika berlaku luas dan merambah seluruh proses pendidikan maka ini
menjadi persoalan penting untuk dicermati.
Sebenarnya, pendidikan berproses pada transfer of
values dan sekaligus transfer of knowledge. Tapi pendidikan dengan
pola yang berlangsung di atas, akan menciptakan suatu aleansi terhadap aspek
immaterial. Dengan begitu, lahirlah unsure profane [pelanggaran]
terhadap hak pendidikan dalam bidang rohani, karena hal tersebut cenderung
menjadi semacam values inside dalam proses pendidikan.
Penggeseran yang demikian, sesungguhnya memang sulit
dihindari secara sempurna, terutama dalam proses awal masa transisi seperti
bangsa Indonesia mengalami perpindahan dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat industri. Maka dalam masyarakat demikian, biasanya untuk sementara
akan terjadi perubahan struktrural dan perubahan cultural secara tidak sejalan,
sehingga terjadi anomie terhadap
perangkat values [Durkheim, 1964:353].
Menurut Kuntowijoyo [1987:11], penyebab tersebut
atau terjadinya penyempitan perhatian terhadap system nilai, juga dimungkinkan
karena terjadi kesenjangan-kesenjangan antara berbagai bidang dalam kehidupan
masyarakat. Maka sebagai akibatnya, individu-individu yang ada di dalamnya akan
saling berpacu dengan metode-metode pilihan dan dapat mempercepat pencapaian
tujuan dalam mobilisasi yang ditempuhnya.
Proses pendidikan yang dijalani akan lebih
menonjolkan aspek keunggulan [materi] dan meninggalkan aspek non-keunggulan
[immateri] dalam mengaktualisasikan diri dalam perubahan. Dengan demikian,
pendidikan yang berlangsung tidak lagi merangkul aspek yang equilibrium sebagaimana
yang digariskan dalam konsep dasar pendidikan kita [transfer of values dan transfer of knowledge].
Ini kelak yang menjadi gejala yang sangat buruk bagi
wajah pendidikan kita sebagai masyarakat yang sosialistis religius, karena
pendidikan sebagai system andalam dalam pemeliharaan konsistensi terhadap hal
tersebut, tidak lagi berperan sebagaimana mestinya. Tugas kita sekarang adalah mengembalikan
moral pendidikan kita pada posisi yang equilibrium sebagaimana ide aslinya, sehingga anak cucu
kita kelak menjadi orang yang cendekia sekaligus bermoral, karena pendidikan
yang dijalani yang memperluas terhadap salah satu aspek dan menciptakan inside
terhadap aspek lainnya. Namun untuk sementara
bantuan orangtua dan keluarga dalam mem-back up hal tersebut sangat penting artinya. Sebab,
disitulah kiranya moral pendidikan kita.
Kepustakaan
Buchori,
Mochtar, 1994, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Durkheim,
Emile, 1964, The Division of Labor in Society, New York, The Free Press.
Hasan A.
Rifai dan Amrullah Achmad, 1987, Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, PLP2M,
Yogyakarta.
Karim, M.
Rusli, 1991, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial
Budaya, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Kuntowijoyo,
1987, Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Nasution,
S., 1983, Sosiologi Pendidikan, Jemmars, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar